Jakarta, mediapolisi.id – Dulu, mercusuar Indonesia itu ada di genggaman orang Minang. Bahkan, jauh sebelum Indonesia bebas dari cengkeraman kolonialisme, orang Minang sudah tampil di barisan terdepan menyuarakan kemerdekaan.
Secara epistemologi, orang Minang merujuk ke pengertian masyarakat dengan budaya Minang Kabau yang lahir dan berkembang turun-temurun di Provinsi Sumatera Barat. Sebuah provinsi yang membujur sepanjang pesisir pulau Sumatera.
Sudah jadi fakta sejarah bahwa orang Minang sedemikian mencuat di tengah tokoh nasional lainnya di era menjelang dan awal kemerdekaan. Tapi, bukan berarti peran tokoh-tokoh daerah lain tidak sejajar dengan tokoh-tokoh dari Ranah Minang.
Salah satu yang paling fenomenal di antara semua tokoh tersebut adalah Tan Malaka. Tokoh yang selalu diselimuti misteri hingga kini itu, bisa disebut sebagai arsitek kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tapi, seiring perjalanan waktu, semua kisah kegemilangan itu hanya menyisakan kebanggaan di masa lalu.
Bagak (baca: keberanian) orang Minang sepertinya semakin tergerus dan meredup ditelan pusaran zaman.
Pudarnya kiprah orang Minang di level elit politik nasional, telah membelokkan orientasi perantau Minang, lebih terkesan hanya pada urusan bisnis.
Semakin minimnya kehadiran dan peran orang Minang di pentas politik nasional, telah melahirkan keprihatinan di hati generasi penerus Minang.
Bahasan di atas dituturkan David Aulia ke mediapolisi.id jaringan Kabarpolisi Media Group di ruangan kerjanya, unit reskrim Polres Depok beberapa waktu lalu.
Menurut David, seharusnya generasi penerus Minang mewarisi dan merawat semangat dan sepak-terjang pendahulu mereka. Seharusnya juga, generasi muda Minang berjuang kembali hadir untuk kejayaan Ibu Pertiwi.
Meski demikian, David sendiri menyadari bahwa ada faktor-faktor sejarah yang tidak bisa disangkal, telah membuat generasi penerus Minang tergeser ke pinggir arena.
Terlepas dari polemik sejarah tersebut, David berharap bagak orang Minang di tanah rantau kembali dinyalakan.
” Orang Minang itu, dengan bekal seribu filosofis dari kampung halaman, mestinya tampil dan diperhitungkan di tanah rantau. Generasi penerus Minang juga harus berjuang keras menghapus stigma sejarah yang membuat sepak-terjang generasi penerus Minang tertinggal jauh,” tegas David.
David menambahkan, bagak orang Minang tidak bisa hanya diterjemahkan dalam arti sempit. Ada banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bagak orang Minang yang dia maksud.
Bagak itu tidak hanya sekadar punya keberanian. Bagak juga harus dimaknai bahwa ada semangat menuntut ilmu yang tidak pernah diam. Di dalam bagak itu juga terefleksi etos kerja keras dengan dilandasi nilai-nilai spritual. Dan pada tingkat yang lebih tinggi, di dalam bagak tersebut, akan melahirkan kebijaksanaan.
Sehingga, dengan semua elemen yang melekat pada bagak tersebut, akan membuat perantau Minang lebih punya ruang memenangkan berbagai peran kehidupan.
Berbincang dengan David terkait prestasi generasi penerus Minang di rantau -yang jadi salah satu perhatiannya- jadi suatu diskusi yang cukup menarik dan menantang.
Berangkat dari rasa prihatin terhadap peran perantau Minang saat ini, David akhirnya ikut sibuk di Ikatan Keluarga Minang (IKM) Depok, Jawa Barat.
Dia berharap kehadirannya di komunitas itu bisa sedikit banyak menggugah sanak-sanak seperantauan, agar kehadiran perantau Minang tidak hanya terbatas dalam usaha mencari nafkah. Semangat belajar dan menuntut ilmu, mestinya juga jadi prioritas yang tidak kalah penting.
Bukan tanpa alasan perwira pertama kepolisian itu menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan. Meski sudah meraih strata dua ilmu hukum dari Universitas Eka Sakti, David masih terus belajar. Padahal, pada saat yang sama, dia juga harus siap sebagai insan Bhayangkara.
” Karena proses belajar pada hakikatnya tidak mengenal kata akhir,” ujarnya yakin.
Putra bungsu dari enam bersaudara ini sangat menyadari bahwa sebetulnya dia belum punya kapasitas bicara banyak tentang sepak-terjang generasi penerus Minang saat ini dan ke depan.
” Saya hanya sekadar berbagi sedikit keresahan. Sangat banyak tokoh Minang yang lebih berkompeten untuk bicara soal ini. Saya hanya memcoba untuk bersuara secara jujur,” jelas David merendah.
Menutup perbincangan, David menegaskan bahwa pengertian bagak di atas sebetulnya juga seiring-sejalan dengan pepatah Minang : Mambangkik batang tarandam. Kalau terjemah bebasnya ke bahasa Indonesia adalah mengembalikan kejayaan masa lalu. Sayangnya, pepatah ini lebih sering berhenti hanya pada tataran teoritis.
Semoga saja idiom bagak yang disampaikan David bisa membumi di tengah masyarakat Minang ke depannya. ( Muhammad Rizal )


