TANJUNGBALAI, Mediapolisi.com – Pelantikan 25 Anggota DPRD Tanjung Balai, Asahan, Sumut, Senin (30/9) diwarnai aksi unjukrasa mahasiswa, mereka menuntut para anggota Dewan yang baru menolak Rancangan Kitab Undang undang Hukum Pidana (RKUHP).
Anggota DPRD Tanjung Balai yang terdiri 9 wajah lama, dan 16 wajah baru, dilantik dan diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Balai, Vera Yetti Magdalena, SH. MH, bertempat di Ruang Sidang Paripurna DPRD setempat.

Saat pelantikan berlangsung para penghunjuk rasa yang mengatasnamakan mahasiswa di luar halaman Gedung DPRD terus menggelar orasi. Mereka meminta RKUPH segera di tolak Dewan.
Aksi unjuk rasa ini mendapat simpatisan dari sekolah. Mereka berbondong bondong dan berusaha menerobos masuk ke kantor DPRD untuk menyampaian aspirasi mereka.
Tetapi Polisi berhasil menghalau para pengunjuk rasa ini ke luar. Namun para pengunjukrasa sempat melemparkan batu ke arah orang ramai namun tidak ada yang korban.
Menurut seorang Mahasiswa Andrian Sulin, SH, dalam orasinya meminta anggota DPRD jangan banci tetapi tetap komit menolak RKUHP sebab tidak pro rakyat, bahkan mempersulit rakyat nantinya.
Dihadapan para petugas Andrian Sulin menyatakan mereka datang ke DPRD bukan untuk anarkis tetapi menyampaikan aspirasi demi kepentingan rakyat.
Beberapa menit kemudian usai pelantikan, Ketua DPRD sementara Tengku Eswin menghampiri para mahasiswa yang didampingi Kapolres Tanjungbalai AKBP Putu Yudha Prawira, Sik. SH.
Kepada para pengunjuk rasa Tengku mengajak agar sama sama menjaga suasana kondusif di Kota kerang ini. Dia juga meminta para mahasiswa mengawal anggota DPRD yang baru dilantik mengawal kota Tanjung Balai.
Alasan Menolak RUKHP
Beberapa bulan terakhir ini sedang heboh isu menyangkut Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP). Rancangan ini sendiri dibuat untuk mengatur perbuatan-perbuatan pidana atau apa saja yang dianggap sebagai perbuatan jahat dan mengatur berat ringannya hukuman tersebut.
Namun, ada beberapa poin dalam RKUHP yang dinilai belum jelas dan justru merugikan bagi kaum perempuan. Dilansir dari berbagai media nasional, sudah banyak organisasi perempuan yang melayangkan keberatan akan disahkannya RKUHP ini. Pakar hukum dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FH UI) Profesor Sulistyowati Irianto misalnya, mengkritik keras pasal 285 RKUHP.
Begini bunyi pasal tersebut:
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal ini dinilai masih memiliki arti yang sempit. Perkosaan masih dianggap terjadi pada pasangan yang bukan suami istri, padahal dalam banyak kasus ada beberapa perkosaan yang juga terjadi pada pasangan suami istri. Selain itu pemerkosaan juga diartikan hanya untuk perempuan padahal ada juga pria yang mengalami pemerkosaan. Salah kaprah pemaknaan perkosaan hanya akan menciptakan celah hukum yang bisa menguntungkan pelaku.
Selain menyusun pasal tentang perkosaan, RKUHP juga disorot karena melakukan perluasan pasal zina. Jika selama ini perbuatan zina yang bisa dipidana mensyaratkan adanya ikatan perkawinan, dalam RKUHP diusulkan dua orang yang melakukan zina tanpa ikatan perkawinan bisa dipidana dan termasuk dalam delik aduan. Menurut data yang diajukan Pusat Kajian Perlindungan Anak Indonesia (PUSKAPA), hal ini justru bisa menimbulkan pola main hukum sendiri dan persekusi dalam masyarakat.
Dalam data PUSKAPA, Pemerintah Provinsi Aceh mengeluarkan aturan tentang larangan berdua-duaan bagi lawan jenis, aturan ini justru membuat banyak anak ditahan, diinterogasi, tidak jarang dipaksa menikah ketika diduga melakukan khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat sunyi atau tersembunyi), dan pemaksaan terhadap perempuan dan anak perempuan menyerahkan hasil tes keperawanan.
Hal ini juga bisa membuat para pasangan yang menikah siri atau menikah adat terancam, karena tak bisa membuktikan status mereka. Patut diingat kalau tidak semua masyarakat Indonesia sudah terdata. Masyarakat pedalaman masih banyak yang tidak memiliki KTP sehingga tak bisa mengajukan pernikahan mereka secara hukum.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe’i, pasal perzinaan ini justru bisa meresahkan masyarakat. Menurutnya, zina adalah tanggung jawab individu kepada Tuhan. Selain itu, Imam menambahkan, dengan membuat perzinaan sebagai bentuk kriminal malah mengurangi efektivitas hukum terhadap kasus pemerkosaan. Selain sulit untuk membuktikan tuduhan pemerkosaan, pembuktian delik pemerkosaan dibebankan kepada korban. Artinya, pasal ini justru berpotensi mengkriminalkan perempuan korban pemerkosaan. Tentunya ini akan menghalangi perempuan lainnya untuk melaporkan kasus pemerkosaan.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh PUSKAPA yang menulis, perilaku seksual bisa terjadi secara konsensual–dibuat dengan persetujuan bersama dari dua pihak–tidak mengandung unsur kekerasan, atau ancaman kekerasan. Jika ketentuan ini berlaku, puluhan juta usia produktif masa depan Indonesia terancam dipidana dan berada dalam situasi berisiko kesehatan dan keamanannya. (AUDA/awe)